Senin, 15 Juni 2009

Cara Mencari Calon Pasangan


Bobot Bibit Bebed merupakan istilah untuk melakukan seleksi awal dalam memilih pasangan yang berkualitas. Bobot diartikan dengan berbobot atau bermutu. Dari kemampuan berpikir, cara mengolah emosi dan prestasi yang dihasilkan, seseorang akan menunjukan seberapa tinggi kemampuannya serta seberapa besar bobotnya. Bibit ‘benih’ keturunan. Di mana ia dilahirkan? Siapa orang tuanya? Dari lingkungan sosial dan keluarga yang baik-baik, biasanya akan melahirkan keturunan yang baik pula. Bebed – bebedan, cara berpakaian atau penampilan. Bebed menunjukan cara sesorang membawa diri, bergaul dan bertingkah laku. Idealnya, ketiga hal tersebut baik adanya.

Setelah didapatkan calon pasangan yang bobot, bibit dan bebednya baik, bahkan mendekati sempurna, ada satu hal esensial yang perlu dipertimbangkan, sebelum melangkah lebih jauh, yaitu menghitung hari, pasaran, tanggal, bulan dan tahun kelahiran masing-masing calon pasangan. Di dalam primbon terdapat perhitungan yang menunjukan apakah ke dua calon pasangan tersebut, jika bersatu membangun rumah tangga akan mengalami kehidupan yang baik, atau mengalami kehidupan yang tidak baik. Calon pasangan pria dan calon pasangan wanita, yang masing-masing memiliki bobot, bibit, bebed baik, belum tentu mereka cocok ketika harus membangun rumah tangga. Ada istilah: mencari ‘bojo’ itu mudah, tetapi memilih ‘jodho’ itu susah, perlu pertimbangan dan perhitungan yang cermat. Karena yang namanya jodoh dalam konteks ini diartikan dengan, jika pasangan tersebut bersatu akan saling melengkapi kekurangannya, saling menutupi kelemahannya dan saling menambah kelebihannya. Sehingga pasangan yang sudah jodoh ketika membangun rumah tangga, masing-masing pasangan dapat mengembangkan diri dengan maksimal.

Untuk mengetahui apakah calon pasangan tersebut jodoh atau tidak jodoh, ada beberapa macam cara menghitung:

Cara A. Hari dan Pasaran kelahiran pasangan pria dan wanita masing-masing diangkakan sesuai dengan Tabel A dan Tabel B, kemudian dijumlah. Jumlahnya dibagi sepuluh. Jika dibagi 10 sisanya lebih dari tujuh, maka tidak dibagi sepuluh melainkan dibagi 7. Prinsipnya sisanya tidak boleh lebih dari 7.

Contoh:
pasangan pria lahir pada Hari Senin, Pasaran Paing.
Senin 4 + Paing 9 = 13 (lihat tabel A & B)
pasangan wanita lahir pada Hari Kamis Pasaran Kliwon
Kamis 8 + Kliwon 8 = 16 (lihat tabel A & B)
Kelahiran Pria diangkakan = 13
Kelahiran wanita diangkakan = 16 +
Jumlah 29

Pertama kali yang untuk membagi angka 29 adalah bilangan 10.

29 : 10 = 2, sisanya 9. karena sisanya lebih dari 7 maka memakai kemungkinan yang ke dua, yang untuk membagi tidak 10 tetapi 7.

29 : 7 = 4, sisanya 1. Angka sisa 1 (satu) tersebut yang menjadi kunci untuk dihitung. Angka sisa 1, namanya Wasesa Sagara, artinya besar wibawanya, luas budinya, panjang sabar dan pemaaf. (lihat Tabel C). Artinya bahwa pasang tersebut jodoh. Kehidupan rumah tangganya kelak akan penuh wibawa, disegani karena kebaikan budinya.

Tabel A Tabel B

Pasaran

Nilai Angka

Pon

7

Wage

4

Kliwon

8

Legi

5

Paing

9

Hari

Nilai Angka

Senin

4

Selasa

3

Rabu

7

Kamis

8

Jumat

6

Sabtu

9

Minggu

5

Tabel C

Sisa

Nama

Artinya

1

Wasesa Sagara

Besar wibawanya, luas budinya, sabar, pemaaf

2

Tunggak Semi

Rejekinya mudah dan melimpah.

3

Satriya Wibawa

Mendapat keluhuran dan kemuliaan

4

Sumur Seneba

Banyak yang datang berguru

5

Satriya Wirang

Mengalami dukacita dan kewirangan.

6

Bumi Kapethak

Banyak mengalami kesedihan, tetapi tabah dan pekerja keras

7

Lebu Katiyup Angin

Mengalami duka nestapa, tdk pernah kesampaian yg dicita-citakan

Catatan :

Sisa angka 7 artinya bahwa angka hasil dari penjumlahan habis dibagi 7.

Dilihat dari Tabel C jumlah hari pasaran kelahiran pasangan yang setelah dibagi 10 atau 7 menyisakan angka 1, 2, 3, dan 4 kategori Jodho, semuanya baik adanya.

Bagi pasangan yang menyisakan angka 5, 6 atau 7, digolongkan dalam pasangan yang kurang jodho, karena berpengaruh jelek. Tetapi jika sudah mantap dengan pasangannya, dapat disyarati agar kejadian buruk tidak menimpa keluarganya kelak

Angka 5 (Satriya Wirang) syaratnya sebelum pelaksanaan upacara perkawinan salah satu calon pengantin menyembelih ayam.

Angka 6 (Bumi Kapethak) syaratnya sebelum menikah salah satu calon pengantin mendhem Siti atau menamam tanah

Angka 7 (Lebu Katiyup Angin) syaratnya sebelu pernikahan berlangsung, salah satu pasangan menghambur-hamburkan tanah.

Pada tulisan 4, telah dipaparkan perhitungan ‘Salaki Rabi’ atau perhitungan dalam memilih calon pasangan yang Jodoh atau cocok lahir batin, dengan Cara A. Selanjutnya dipaparkan cara menghitung dengan:

CARA B. Hari dan pasaran kelahiran pasangan pria dijumlah dengan hari pasaran kelahiran pasangan wanita, hasil dari penjumlahan dibagi 5. Sisa angka setelah dibagi 5 adalah angka kunci yang dipakai untuk menghitung.

Contoh:
pasangan pria lahir pada Hari Senin, Pasaran Paing.

Senin 4 + Paing 9 = 13 (lihat tabel A & B)

pasangan wanita lahir pada Hari Kamis Pasaran Kliwon

Kamis 8 + Kliwon 8 = 16 (lihat tabel A & B)

Kelahiran Pria diangkakan = 13Kelahiran wanita diangkakan = 16 +

Jumlah 29

29 : 5 = 5, sisanya 4.

Hasil perhitungan tersebut menyisakan angka 4 termasuk tidak baik, karena jatuh pada Pati (lihat tabel D)

Pati dalam arti luas. Segala langkah dan tujuan kandas ditengah jalan.

Tabel D

Sisa

Nama

Artinya

1

Sri

rejeki melimpah

2

Dana

suka memberi dan banyak rejeki

3

Lara

banyak derita, dan keluh-kesah

4

Pati

segala langkah dan tujuan kandas ditengah jalan

5

Lungguh

tentram dan damai

Catatan : Sisa angka 5 artinya bahwa angka hasil dari penjumlahan habis dibagi 5

Cara C. Saat kelahiran Pasangan Pria dan Pasangan Wanita yang masing-masing terdiri dari : Nilai angka hari kelahiran (lih tabel A) ditambah angka tanggal lahir, ditambah nilai angka pasaran kelahiran (lih tabel C), ditambah nilai angka bulan kelahiran (lih tabel E) dan ditambah nilai angka tahun kelahiran (lih Tabel F) keduanya dijumlah dan dibagi 9. Sisa angka setelah dibagi 9 adalah angka kunci untuk dihitung, lih Tabel G.

Tabel E Tabel F

No. Bln

Bulan

Nilai Angka

1

Sura

7

2

Sapar

2

3

Mulud

3

4

Bakdamulud

5

5

Jumadilawal

6

6

Jumadilakir

1

7

Rejeb

2

8

Ruwah

4

9

Pasa

5

10

Sawal

7

11

Dulkaidah

1

12

Besar

3

Pasaran

Nilai Angka Angka

Alip

1

Dal

4

Ehe

5

Be

2

Jimawal

3

Wawu

6

Je

7

Jimakir

3

Tabel G

Sisa

Nama

Artinya

1, 4, 7

Wali

tidak baik

2, 5, 8

Pengulu

cukup

3, 6, 9

Manten

baik

Catatan : angka 9 artinya bahwa jumlah angka habis dibagi 9

Contoh :

Saat kelahiran pasangan Pria
Senin Pahing, tgl 16, bln Sura, th Dal
Senin = 4
Pahing = 9
Tanggal = 16
Sura = 7
Dal = 4 +
Jumlah = 40

Saat kelahiran pasangan Wanita

Kamis Kliwon, tgl 9, bln Rejeb, th Jimakir
Kamis = 8
Kliwon = 9
Tanggal = 9
Rejeb = 2
Jimakir = 3 +
Jumlah = 31

Jumlah ke duanya 40 + 31 = 71

71 : 9 = 7, sisa 8

Angka kunci adalah 8, perhitunganya jatuh pada Penghulu, artinya cukup.(lih Tabel F)

Dari paparan perhitungan Salaki Rabi, pasangan Senin Pahing dan Kamis Kliwon dihitung dengan cara A hasilnya baik. Sedangkan dengan cara B hasilnya jelek. Lain lagi jika dihitung dengan cara C, hasilnya cukup. Hal tersebut tidak berarti bahwa perhitungan ke tiga cara tersebut saling bertentangan atau asal beda saja, tetapi lebih menunjukan bahwa dalam perhitungan ini ada kelenturan, ada tawaran-tawaran atau pilihan-pilihan alternatif, yang tentunya memberi kesempatan pada calon pasangan untuk memilih yang terbaik. Jika cocok dengan cara A, silakan memakai cara A. Jika cocok dengan cara B ataupun C, silakan pakai yang terbaik. Namun perlu dicacat, bahwa ketiga cara tersebut yang paling lengkap adalah cara C, kalau tidak boleh mengatakan yang paling baik. Karena yang dihitung tidak saja hari dan pasaran seperti pada cara A dan Cara B, tetapi tanggal, bulan dan tahun kelahiran juga dihitung.

Prinsip Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, didalamnya mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur – unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.

Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum. Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengetengahkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok : (1) prinsip - prinsip umum : relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas; (2) prinsip-prinsip khusus : prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian. Sedangkan Asep Herry Hernawan dkk (2002) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu :

  1. Prinsip relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen-komponen tersebutmemiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis).
  2. Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta didik.
  3. Prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
  4. Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.
  5. Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu :

  1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
  2. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
  3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
  4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
  5. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
  6. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
  7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemenuhan prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara penerapan satu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum sebelumnya, yang justru tampaknya sering kali terabaikan. Karena prinsip-prinsip itu boleh dikatakan sebagai ruh atau jiwanya kurikulum

Dalam mensikapi suatu perubahan kurikulum, banyak orang lebih terfokus hanya pada pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum . Padahal jauh lebih penting adalah perubahan kutural (perilaku) guna memenuhi prinsip-prinsip khusus yang terkandung dalam pengembangan kurikulum.

PENGGUNAAN TEKNIK PENGONDISIAN OPERAN (OPERANT CONDITIONING) UNTUK MEMBANTU MENURUNKAN FREKUENSI KEBIASAAN

I. PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Berdasarkan studi awal di SMK PGRI 7 Surabaya, ditemukan terdapat berbagai macam kasus pelanggaran yang dilakukan siswa berkaitan dengan kedisplinan siswa di sekolah, khususnya mengenai perilaku membolos. Di SMK PGRI 7 Surabaya terdapat 8 % dari siswa kelas X yang memperlihatkan kebiasaan membolos dengan frekuensi yang tergolong tinggi.

Kebiasaan membolos ini merupakan suatu permasalahan yang perlu ditangani dan memerlukan bimbingan guru dan konselor, seperti dikemukakan Gunarsa (2002: 139) bahwa tingkah laku di sekolah yang bertahan dengan kurang pembentukan kesanggupan disiplin diri, pengendalian tingkah laku dan memerlukan bimbingan guru adalah antara lain keterlambatan, membolos, menentang guru, perkelahian, nyontek dan sebagainya.

Jika dipandang dari segi pendidikan, membolos dapat menghambat berkembangnya sumber daya manusia yang baik. Siswa yang membolos tidak dapat bertanggung jawab dalam belajarnya, hal ini akan merusak potensi, bakat, kemampuan, cita-cita, dan masaa depan mereka. Sehingga perilaku membolos akan menghambat tercapainya tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. (Kartono, 1997: 93)

Selain menghambat tujuan pendidikan, membolos juga merupakan suatu perilaku yang melanggar norma-norma sosial, karena siswa yang membolos akan cenderung melakukan hal-hal atau perbuatan yang negatif sehingga akan merugikan masyarakat sekitarnya. Seperti yang dikemukakan Kartono (2003: 21) bahwa membolos merupakan perilaku yang melanggar norma-norma sosial sebagai akibat dari proses pengondisian lingkungan yang buruk.

Menurut Pearce, yang dialih bahasakan oleh Budi (2000 : 107), beberapa kemungkinan alasan membolos yaitu terlalu sulit bagi anak karena disesatkan atau dipengaruhi oleh anak lain, sekolahnya tidak terorganisasi dengan baik dan tidak pernah memperhatikan masalah membolos, karena orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga anak tidak mendapatkan pengawasan yang cukup.

Selain penyebab kebiasaan membolos yang disebutkan diatas, membolos juga merupakan kesalahan dalam belajar atau bukan merupakan perilaku belajar, karena kebiasaan membolos tidak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat serta tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan. Seperti yang dikemukakan Syah (2004 : 116), meskipun secara teoritis belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang timbul karena proses belajar sudah tentu memiliki ciri-ciri perubahan yang khas sebagai karakteristik perilaku belajar, yaitu (1) perubahan itu intensional dalam arti siswa menyadari akan adanya perubahan dalam dirinya, (2) perubahan itu positif dan aktif, dalam arti perubahan ini bermanfaat serta sesuai dengan harapan dan tidak terjadi dengan sendirinya tetapi karena usaha siswa itu sendiri, dan (3) perubahan itu efektif dan fungsional, dalam arti perubahan tersebut membawa pengaruh makna dan manfaat tertentu bagi siswa.

Kebiasaan membolos yang sering dilakukan oleh siswa akan berdampak negatif pada dirinya, misalnya dihukum, diskorsing, tidak dapat mengikuti ujian, bahkan bisa dikeluarkan dari sekolah. Selain itu, kebiasaan membolos juga dapat menurunkan prestasi belajarnya. Kebiasaan membolos merupakan tingkah laku yang disebabkan karena kurangnya pengendalian tingkah laku, maka diperlukan suatu cara untuk membantu permasalahan siswa dalam mengendalikan tingkah lakunya.

Melihat fenomena diatas, maka bimbingan dan konseling memberikan suatu alternatif penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Salah satu cara yang digunakan dalam menyelesaikan masalah kebiasaan membolos tersebut yaitu dengan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning). Adapun landasan dari penggunaan teknik ini yaitu seperti yang dikemukakan oleh Skinner (1971), jika suatu tingkah laku diganjar, maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut di masa mendatang akan tinggi. Dan prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola- pola tingkah laku merupakan inti dari Pengondisian Operan. Pengondisian Operan adalah salah satu teknik dalam terapi behavioral, Skinner memusatkan pada hubungan tingkah laku dan konsekuen. Pengondisian Operan merupakan teknik yang menggunakan konsekuen menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam mengubah tingkah laku. Konsekuen menyenangkan akan memperkuat tingkah laku, sementara konsekuen tidak menyenangkan akan memperlemah tingkah laku. Skinner menyebut konsekuen tersebut dengan reinforcement (penguatan).

Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul gagasan untuk mengadakan penelitian tentang penggunaan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning) untuk membantu menurunkan frekuensi kebiasaan membolos pada siswa kelas X SMK PGRI 7 Surabaya.

  1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, penulis menarik rumusan masalah: “Apakah penggunaan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning) dapat membantu menurunkan frekuensi kebiasaan membolos pada siswa kelas X SMK PGRI 7 Surabaya?”

  1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah penulis ingin mengetahui apakah penggunaan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning) dapat membantu menurunkan frekuensi kebiasaan membolos pada siswa kelas X SMK PGRI 7 Surabaya.

  1. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu-ilmu dalam bimbingan dan konseling di sekolah, khususnya teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning) untuk membantu menurunkan frekuensi kebiasaan membolos siswa.

2. Manfaat Praktis

Memberikan data empiris akan keefektifan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning) untuk membantu menurunkan frekuensi kebiasaan membolos yang dapat digunakan konselor di sekolah yang menguasai berbagai macam pendekatan dalam konseling baik secara teoritik maupun praktik dalam layanan bimbingan dan konseling.

  1. Definisi, Asumsi, dan Keterbatasan

1. Definisi

a. Teknik Pengondisian Operan adalah suatu teknik dari terapi behavioral yang menggunakan konsekuen menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam mengubah tingkah laku.

b. Kebiasaan membolos adalah pergi meninggalkan sekolah tanpa alasan yang tepat pada jam pelajaran dan tidak ijin terlebih dahulu pada petugas sekolah yang dilakukan secara berulang-ulang.

2. Asumsi

a. Perilaku membolos dapat dilakukan oleh setiap siswa,

b. Perilaku membolos dapat diubah,

c. Siswa dapat melaksanakan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning).

3. Keterbatasan

Untuk menghindari kesalahpahaman dan agar mencapai pengertian yang sama, maka perlu adanya batasan penelitian, yaitu sebagai berikut :

a. Penelitian ini hanya terbatas pada penggunaan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning) terhadap kebiasaan membolos di sekolah,

b. Penelitian ini hanya terbatas pada siswa kelas X SMK PGRI 7 Surabaya yang memiliki frekuensi kebiasaan membolos tinggi di sekolah.

II. KAJIAN PUSTAKA

Berdasarkan judul penelitian “ Penggunaan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning) untuk membantu menurunkan frekuensi kebiasaan membolos pada siswa kelas X SMK PGRI 7 Surabaya ”, maka ada 2 variabel. Pada bab ini akan dijelaskan tentang 2 variabel tersebut.

  1. Kebiasaan Membolos

1. Pengertian Kebiasaan Membolos

Kebiasaan adalah hal yang biasa dikerjakan atau pola untuk melakukan tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu yang dilakukannya secara berulang untuk hal yang sama. (Poerwadarminta, 1984 : 124)

Membolos adalah tidak masuk sekolah atau bekerja yang sebenarnya tidak libur. (Poerwadarminta, 1984 : 149)

Membolos dapat dibedakan dari fobi sekolah karena pada kasus yang belakangan orang tua tahu dimana anak berada, tetapi dalam hal bolos baik orang tua maupun guru tidak tahu dimana anak berada. (Pearce, 2000:107)

Sedangkan menurut Gunarsa (1981:31) membolos adalah pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah.

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kebiasaan membolos adalah pergi meninggalkan sekolah tanpa alasan yang tepat pada jam peljaran dan tidak ijin terlebih dahulu pada petugas sekolah yang dilakukan secara berulang-ulang.

2. Sebab-sebab Siswa Membolos

Pearce (2000:78) mengemukakan tentang alasan-alasan yang menyebabkan siswa membolos sekolah, antara lain sebagai berikut:

a. Sekolah membosankan atau sulit bagi anak dan tampaknya tidak menawarkan sesuatu,

b. Anak disesatkan orang lain,

c. Sekolah tidak terorganisir dengan baik dan tidak memperhatikan masalah membolos,

d. Tindakan membolos terjadi pada orang tua yang terlalu sibuk bekerja,

e. Karena mendapat sesuatu yang lebih menarik untuk dikerjakan seperti pekerjaan yang dibayar atau untuk menemui teman-temannya.

Menurut Gunarsa (2002:119), sebab anak absent dan tidak ke sekolah dibagi dalam 2 kelompok, yaitu:

a. Sebab dari dalam diri anak itu sendiri

1). Pada umumnya anak tidak ke sekolah karena sakit,

2). Ketidakmampuan anak dalam mengikuti pelajaran di sekolah,

3). Kemampuan intelektual yang tarafnya lebih tinggi dari teman-temannya,

4). Dari banyaknya kasus di sekolah, ternyata faktor pada anak yaitu kekurangan motivasi belajar yang jelas mempengaruhi anak.

b. Sebab dari luar anak

1). Keluarga

(a) Keadaan keluarga

Keadaan keluarga tidak selalu memudahkan anak didik dalam menggunakan waktu untuk belajar sekehendak hatinya. Banyak keluarga yang masih memerlukan bantuan anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas di rumah, bahkan tidak jarang pula terlihat ada anak didik yang membantu orang tuanya mencari nafkah.

(b) Sikap Orang Tua

Sikap orang tua yang masa bodoh terhadap sekolah, yang tentunya kurang membantu mendorong anak untuk hadir ke sekolah. Orang tua dengan mudah memberi surat keterangan sakit ke sekolah, padahal anak membolos untuk menghindari ulangan.

2). Sekolah

(a) Hubungan anak dengan sekolah dapat dilihat dari anak-anak lain yang menyebabkan ia tidak senang di sekolah, lalu membolos.

(1) Kemungkinan anak memiliki kelainan dengan teman-temannya yang lain; aneh, cacat, berkelainan,

(2) Kemungkinan anak tidak disenangi oleh anak sekelasnya karena termasuk kelompok minoritas atau anak kesayangan gurunya.

(b) Anak tidak senang ke sekolah karena tidak senang dengan gurunya.

(1) Guru mungkin menakutkan bagi siswa,

(2) Sikap guru yang membeda-bedakan siswa atau menganak emaskan siswanya,

(3) Sikap guru yang tidak mau menjawab pertanyaan siswanya,

(4) Ada persoalan atau masalah antara anak didik dan guru.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab anak membolos ada 2 faktor penting, yaitu:

a. Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri, yaitu:

1). Motivasi atau dorongan

Ada kalanya anak menjadi patah semangat karena kurangnya motivasi dalam diri anak itu sendiri.

2). Kemampuan belajar

Anak membolos bisa juga karena kemampuan belajarnya rendah dan malu untuk mengakui kekurangannya, lebih baik mengatakan, “saya tidak masuk waktu guru menerangkan tentang pelajaran itu” daripada mengatakan “saya tidak bisa menangkap penjelasan yang diterangkan guru”.

3). Akibat kegagalan

Ada kalanya dalam belajar siswa mengalami kegagalan, akibat kegagalan yang dialami tersebut di sering dicemooh oleh teman-temannya, dan akhirnya lebih baik membolos saja.

4). Rasa rendah diri

Kemampuan yang dimiliki setiap anak tidak sama, bagi anak yang mempunyai kemampuan rendah dibanding teman-temannya, maka hal ini akan menyebabkan anak menjadi rendah diri atau minder.

5). Kesalahan dalam belajar

Siswa merasa mendapatkan sesuatu yang lebih menarik dari pada kegiatan di sekolah, hal ini merupakan suatu kesalahan dalam belajar. Karena dengan membolos siswa tidak akan mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya.

b. Faktor yang berasal dari luar diri siswa, yaitu:

1). Dari keluarga

Adanya anggapan dari orang tua tentang kurang pentingnya pendidikan, sehingga ada orang tua yang melindungi anaknya membolos.

2). Interaksi guru dengan siswa

Interaksi ini banyak bergantung pada setiap guru dalam menghadapi murid, ada kalanya guru tidak mengetahui kalau ada siswa yang merasa terasing di tangah-tengah teman sekolahnya.

3). Dari teman

Pengaruh teman-temannya sangat besar dalam membolos sekolah, ada hal-hal menarik yang bisa dilakukan dengan teman-temannya ketika membolos sekolah.

3. Akibat dari siswa yang suka membolos

a. Akibat dari psikis

Anak cenderung merasa cemas jika membolos, karena jika ditemukan oleh petugas sekolah maka akan dihukum dan diskorsing, tidak naik kelas, dan akibat yang lebih buruk lagi adalah dikeluarkan dari sekolah. Perasaan cemas ini sebenarnya dirasakan oleh setiap anak yang melakukan kesalahan atau melanggar peraturan, tapi tingkat atau kadar kecemasan dari masing-masing anak berbeda. Seperti apa yang diungkap oleh Sumanto (1988:188), bahwa kecemasan menggambarkan keadaan emosional ynag dikaitkan dengan ketakutan-ketakutan akan situasi sekolah secara menyeluruh, takut aspek khusus lingkungan sekolah, guru, teman, mata pelajaran, atau ulangan. School Phobia menyebabkan anak menolak untuk pergi ke sekolah.

b. Akibat secara sosial

Anak yang sering membolos cenderung dibenci atau tersisihkan dari teman-temannya. Anak yang tidak membolos, enggan berteman dengan anak yang sering membolos karena khawatir akan terpengaruh pada kebiasaan-kebiasaan jelek. Seperti pendapat Pearce (2000:107), jadi bisa dikatakan bahwa anak membolos dapat dipengaruhi atau mempengaruhi orang lain.

c. Akibat dalam Prestasi belajar

Ketler (dalam Kartlini Kartono, 1991:80) menyatakan bahwa anak tidak masuk sekolah pasti ketinggalan langkah dasar tertentu dalam belajar. Waktu dia kembali ke sekolah dia rugi karena tidak masuk sekolah, dia membolos lagi karena hal itu dia gagal dan dengan demikian ia membuka jalan kegagalan berikutnya apabila ia masuk sekolah lagi.

Jadi jelas bahwa prestasi belajar anak yang mempunyai kebiasaan membolos sekolah akan menurun atau jelek dan jika nilai tersebut tidak dapat diperbaiki, maka akibat lebih lanjut adalah tidak naik kelas.

B. Tehnik Pengondisian Operan (Operant Conditioning)

1. Pengertian tehnik Pengondisian Operan (Operant Conditioning)

Menurut Skinner, tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang menjadi ciri organisme aktif. Ia adalah tingkah laku yang beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat- akibat. (Gerald Corey, 2005 : 218)

Sedangkan menurut Rita L. Atkinson, et. Al yang diterjemahkan oleh Nurjdanah Taufiq dan Rukmini Barhana (1991 : 337), menyatakan bahwa “perilaku operan beraksi di lingkungan sekitar untuk menghasilkan dan memperoleh akses penguat dan diganjar dengan penguatan ”.

Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkah laku operan adalah tingkah laku yang menjadi ciri organisme yang aktif di lingkungan sekitar untuk menghasilkan dan memperoleh penguat dan diganjar dengan penguatan.

Skinner memandang hadiah (reward) atau penguatan (reinforcement) sebagai unsur yang paling penting dalam proses belajar. Kita cenderung untuk belajar suatu respon jika segera diikuti oleh penguatan (reinforcement). Skinner lebih memilih istilah reinforcement daripada reward, karena reward diinterpretasikan sebagai tingkah laku subjektif yang dihubungkan dengan kesenangan, sedang reinforcement adalah istilah yang lebih netral.

Teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning) merupakan salah satu teknik dalam pendekatan behavioral (terapi tingkah laku). Penemuan Skinner memusatkan pada hubungan tingkah laku dan konsekuen. Contoh, jika tingkah laku individu segera diikuti oleh konsekuensi menyenangkan, individu akan menggunakan tingkah laku tersebut lagi sesering mungkin. Menggunakan konsekuen menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam mengubah tingkah laku sering disebut Pengondisian Operan (Operant Conditioning). Konsekuen menyenangkan akan memperkuat tingkah laku, sementara konsekuen tidak menyenangkan akan memperlemah tingkah laku.

2. Bentuk-bentuk penguatan

Dalam Pengondisian Operan (Operant Conditioning), respon mestilah pertama kali terjadi. Kemungkinan respon terjadi lagi ditentukan oleh konsekuensi dari respon itu, segala sesuatu yang merubah kemungkinan respon itu terjadi lagi adalah mengacu sebagai penguat. Penguat akan memperkuat respon yang baru mendahuluinya. Sebagai contoh, jika anda menghendaki anak anda membersihkan kamarnya, maka anda tidak akan berkata, “ baiklah, kau dapat pergi keluar dan bermain, tapi saya ingin kau membersihkan kamarmu sesudah bermain nanti. ” Dalam kejadian ini, penguat (bermain) terjadi pertama. Respon yang diingini (membersihkan kamar) boleh saja tidak terjadi. Penerapan yang tepat dari penguatan tersebut adalah membiarkan anak bermain (penguat) sesudah kamar dibersihkan (respon). Sesuatu bisa dikatakan penguat jika dilihat dari hasil-hasilnya, yaitu bila pada kenyataannya dapat merubah (memperbesar atau memperkecil) kemungkinan terjadinya lagi perilaku yang dulu.

Berdasarkan pada “kapan” penguat itu terjadi, “bagaimana” anda menguatkan dan “apa” hasilnya, penguat digolongkan menjadi 2 yaitu:

a. Penguat positif

Dikatakan penguat positif jika:

1). Penguat itu terjadi setelah “respon yang dikehendaki” ditunjukkan atau dilakukan dan dari hasilnya dapat merubah kemungkinan terjadinya perilaku itu lagi. Keuntungan dari penguat positif ialah bahwa orang yang dikondisikan tersebut hanya mengulang perilakunya terdahulu, dan penguat mungkin sekali akan terjadi lagi. Dia tidak perlu mempelajari semua cara-cara yang salah (yang tidak dikehendaki) dari perilaku, dia hanya perlu untuk mempelajari suatu cara bertingkah laku yang benar (yang dikehendaki),

2). Penguat dikatakan positif jika dia menguatkan dengan kehadiran (presentation). Sebagai contoh, jika anda berada pada dunia yang kosong dari kasih sayang dan anda melakukan suatu respon, misalnya dengan mengirim bunga. Karena hal itu anda mendapat kasih sayang, maka itu berarti anda telah diperkuat secara positif dan mungkin sekali anda akan lebih suka mengirim bunga di masa-masa mendatang untuk mendapatkan kasih sayang,

3). Penguat positif cenderung memperbesar kemungkinan pengulangan.

Dalam penguat positif terdapat penguat primer dan sekunder. Penguat primer yaitu yang berhubungan dengan pemuasan kebutuhan-kebutuhan fisiologis, seperti makanan dan tidur atau istirahat. Sedang penguat sekunder yaitu yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis dan sosial, misalnya senyuman, persetujuan, pujian, bintang-bintang emas, medali atau tanda penghargaan, uang dan hadiah-hadiah.

b. Penguat negatif

Dikatakan penguat negatif jika:

1). Penguat itu terjadi segera setelah “respon yang tidak dikehendaki” ditunjukkan atau dilakukan dan dari hasilnya dapat merubah kemungkinan perilaku yang tidak dikehendaki itu terjadi lagi. Sebagai contoh penguat negatif yaitu orang tua yang memarahi anaknya setiap kali anak tersebut melakukan kesalahan, sebuah hukuman karena nilai raport yang buruk, dan sebagainya. Kerugian dari penguat negatif ialah bahwa anda hanya mempelajari bagaimana untuk tidak melakukan hal tersebut. Anda mungkin diberitahukan seratus kali agar jangan berbuat seperti itu, tapi anda hanya mengetahui sedikit atau tidak sama sekali tentang bagaimana bertingkah laku. Orang yang dikondisikan tersebut hanya mengulang perilakunya terdahulu, dan penguat mungkin sekali akan terjadi lagi. Dia tidak perlu mempelajari semua cara-cara yang salah (yang tidak dikehendaki) dari perilaku, dia hanya perlu untuk mempelajari suatu cara bertingkah laku yang benar (yang dikehendaki),

2). Penguat dikatakan negatif jika dia menguatkan melalui penarikan atau penahanan sesuatu yang baik. Jika anda di suatu dunia di mana beberapa yang tidak dikehendaki hadir atau ada, dan sebagai akibat dari suatu respon yang anda lakukan, yang tidak dikehendaki itu ditarik, maka anda secara negatif sudah dikuatkan. Penerima penguat tersebut sebenarnya tidak memperoleh sesuatu, tingkah laku yang tidak dikehendaki tersebut sebenarnya hanya ditarik,

3). Penguat negatif cenderung mengurangi kemungkinan pengulangan.

Sebenarnya kedua penguat yang positif dan negatif adalah efektif, keduanya merubah kemungkinan terjadinya lagi perilaku. Tingkat keefektifannya sangat bergantung kepada kekonsistenan anda dalam mengikuti aturan-aturan penting yaitu; 1) gunakanlah penguat negatif untuk menghentikan berlangsungnya perilaku yang tidak dikehendaki, 2) gunakanlah penguat positif untuk meneruskan atau meningkatkan perilaku yang dikehendaki. Penerapan penguat positif akan mengembangkan kepatuhan dengan hasrat untuk menyenangkan, sedang penerapan penguat negatif akan mengembangkan kepatuhan karena takut karena hukuman. Kepatuhan akan selalu ada dalam setiap kasus tersebut, hanya motivasinya saja yang berbeda. Maka keputusan dari kondisionir atau penghubung adalah apakah memotivasi dengan rasa takut atau suatu keinginan untuk menyenangkan.

3. Prosedur pembentukan tingkah laku

Jika disederhanakan, pembentukan tingkah laku dalam Pengondisian Operan (Operant Conditioning), menurut Skinner yang dikutip Sri Esti Wuryani Djiwandono, (2004 : 133), adalah sebagai berikut :

a. Mengidentifikasi hal-hal yang merupakan reinforcement bagi tingkah laku yang akan dibentuk,

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi aspek-aspek kecil yang membentuk tingkah laku yang dimaksud. Kemudian aspek-aspek tadi disusun dalam urutan untuk menuju terbentuknya tingkah laku yang dimaksud,

c. Dengan menggunakan secara urut aspek-aspek tersebut sebagai tujuan sementara, kemudian diidentifikasikan reinforcer untuk masing-masing aspek atau komponen itu,

d. Melakukan pembentukan tingkah laku dengan menggunakan urutan aspek-aspek yang telah disusun itu. Jika aspek pertama telah dilakukan, maka hadiah atau reinforcer diberikan, hal ini mengakibatkan aspek tersebut sering dilakukan. Jika ini sudah terbentuk , kemudian dilakukan aspek kedua dan diberi reinforcer, demikian berulang-ulang sampai aspek kedua terbentuk dan demikian seterusnya terhadap aspek-aspek yang lain sampai seluruh tingkah laku yang diharapkan akan terbentuk.

Teknik ini cocok digunakan untuk pengendalian tingkah laku anak, diantaranya tentang kenakalan, keributan dan kedisplinan.

4. Tahapan Pengondisian Operan (Operant Conditioning)

Tahapan Pengondisian Operan (Operant Conditioning) yang dilakukan peneliti yaitu :

a. Mengidentifikasi siswa yang selalu membolos atau memiliki frekuensi kebiasaan membolos tinggi dari dokumen absensi siswa,

b. Analisis komponen yang menyebabkan siswa selalu membolos,

c. Menentukan penguatan untuk tiap komponen,

d. Memberikan perlakuan terhadap siswa yang selalu membolos atau memiliki frekuensi kebiasaan membolos tinggi,

e. Mengevaluasi hasil perlakuan,

f. Membandingkan antara sebelum dan sesudah mendapat perlakuan.

  1. Penelitian yang relevan

Penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Reni Praminasari Sukalna (2000), menyimpulkan bahwa terapi behavioral dengan pengondisian operan mempunyai pengaruh positif terhadap penurunan tingkat keributan siswa kelas II SLTP Negeri 28 Surabaya. Penelitian yang dilakukan oleh Herlinda Trisnawati (2005), menyimpulkan bahwa strategi Self Management efektif untuk menurunkan frekuensi kebiasaan membolos pada siswa kelas II SMAN 1 Kamal. Penelitian yang dilakukan Fatma Retno Wulan (2007), menyimpulkan bahwa strategi Self Management memiliki pengaruh untuk mengurangi perilaku membolos pada pelajaran Matematika di kelas VIII.9 SMP Taman Pelajar Surabaya. Penelitian yang dilakukan Wahyu Kartika Sari (2005), menyimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara perhatian orang tua dengan dengan kebiasaan membolos siswa kelas II SMA Negeri Baureno 1, yang artinya bahwa siswa atau anak mendapat perhatian orang tua yang tinggi maka semakin rendah kebiasaan membolos siswa dan sebaliknya semakin rendah perhatian orang tua maka semakin tinggi kebiasaan membolos siswa.

  1. Kerangka Pikir

Dalam tata tertib sekolah sudah tertulis tentang semua tata tertib dan aturan yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh siswa, namun kenyataannya masih banyak siswa yang melanggar tata tertib yang sudah dibuat tersebut. Salah satu bentuk pelanggaran tersebut dapat dilihat dari banyaknya siswa yang memiliki kebiasaan membolos.

Siswa yang memiliki kebiasaan membolos tersebut perlu diberi pemahaman diri agar dapat menyadari akan perbuatannya yang dapat merugikan dirinya sendiri tersebut, dan mengubah perilakunya. Karena dampak dari kebiasaan membolos tersebut dapat menyebabkan siswa dihukum, diskors, dijauhi teman, tidak dapat mengikuti ujian, dapat menurunkan prestasi belajarnya karena tertinggal dengan teman-temannya yang lain, bahkan bisa dikeluarkan dari sekolah.

Berdasarkan uraian tersebut, maka kebiasaan membolos perlu mendapat penanganan khusus untuk mengatasinya, sehingga hal tersebut dapat diturunkan. Pada penelitian ini mencoba memperkenalkan alternatif penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Salah satu cara yang digunakan dalam menyelesaikan masalah kebiasaan membolos tersebut yaitu dengan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning). Kebiasaan membolos di sekolah memiliki beberapa indikator, yaitu; 1) tingkah laku yang sering tidak masuk sekolah tanpa keterangan, 2) melanggar peraturan yang ada di sekolah, 3) tingkah laku yang sering meninggalkan sekolah sebelum jam sekolah selesai tanpa seijin petugas sekolah.

Teori Skinner tentang Pengondisian Operan (Operant Conditioning) yang menjelaskan bahwa tingkah laku dapat dipelajari dan dapat diubah dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul. (Corey, 1997:223). Pengondisian Operan adalah salah satu teknik dalam terapi behavioral, Skinner memusatkan pada hubungan tingkah laku dan konsekuen. Pengondisian Operan merupakan teknik yang menggunakan konsekuen menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam mengubah tingkah laku. Konsekuen menyenangkan akan memperkuat tingkah laku, sementara konsekuen tidak menyenangkan akan memperlemah tingkah laku. Skinner menyebut konsekuen tersebut dengan reinforcement (penguatan). Adapun landasan dari penggunaan teknik ini yaitu seperti yang dikemukakan oleh Skinner (1971), jika suatu tingkah laku diganjar, maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut di masa mendatang akan tinggi. Dan prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laku merupakan inti dari Pengondisian Operan.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat digambarkan sebagai berikut:


  1. Hipotesis

Dari uraian yang telah dijelaskan diatas, dapat ditarik suatu hipotesis penelitian yaitu:

“Penggunaan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning) dapat membantu menurunkan frekuensi kebiasaan membolos pada siswa kelas X SMK PGRI 7 Surabaya”.

III. METODE PENELITIAN

  1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam menguji keefektifan penggunaan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning) untuk membantu mengurangi kebiasaan membolos siswa yaitu menggunakan pendekatan pre experimental design dengan jenis pre-test and post-test one group design. Pendekatan ini diberikan pada satu kelompok saja tanpa kelompok pembanding. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut:

Oval: Pre-test

T1 X T2

Prosedur pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Kenakan T1 yaitu assessment data siswa yang mempunyai kebiasaan membolos pada siswa kelas X SMK PGRI 7 Surabaya sebelum mendapat perlakuan sebagai kegiatan pre-test,

2. Kenakan pada subjek dengan X, yaitu dengan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning) untuk jangka waktu tertentu kepada siswa yang mempunyai frekuensi kebiasaan membolos tinggi sebanyak 4 kali pertemuan,

3. Kenakan T2 yaitu post-test untuk mengukur tingkat kebiaasaan membolos siswa sesudah dikenakan variabel eksperimen (X),

4. Bandingkan T1 dan T2 untuk menentukan seberapa besar perbedaan yang timbul, jika sekiranya ada sebagai akibat diberikannya variabel eksperimen,

5. Menerapkan analisis statistik yang sesuai, dalam hal ini untuk mengetahui pengaruh penggunaan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning) untuk membantu menurunkan frekuensi kebiasaan membolos siswa dengan menggunakan Uji Tanda (Sign-Test).

  1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMK PGRI 7 Surabaya, yang beralamatkan di jalan Raya Lidah Wetan No. 23 Surabaya.

  1. Subjek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X SMK PGRI 7 Surabaya yang memiliki frekuensi kebiasaan membolos tinggi.

  1. Variabel dan Definisi Operasional

Berdasarkan judul penelitian, maka dapat dikemukakan bahwa dalam penelitian ini ada 2 variabel yaitu :

1. Variabel bebas (X)

Teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning) adalah suatu teknik dari terapi behavioral yang menggunakan konsekuen menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam mengubah tingkah laku. Konsekuen menyenangkan akan memperkuat tingkah laku, sementara konsekuen tidak menyenangkan akan memperlemah tingkah laku.

2. Variabel terikat (Y)

Kebiasaan membolos adalah pergi meninggalkan sekolah tanpa alasan yang tepat pada jam pelajaran dan tidak ijin terlebih dahulu pada petugas sekolah yang dilakukan secara berulang-ulang. Adapun indikatornya antara lain; 1) tingkah laku yang sering tidak masuk sekolah tanpa keterangan, 2) melanggar peraturan yang ada di sekolah, 3) tingkah laku yang sering meninggalkan sekolah sebelum jam sekolah selesai tanpa seijin petugas sekolah.

  1. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data tentang kebiasaan membolos siswa. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan diantaranya:

1. Metode dokumentasi

Metode dokumentasi digunakan untuk mengungkap data siswa yang memiliki frekuensi kebiasaan membolos tingkat tinggi, yaitu dengan cara melihat bukti-bukti tertulis yang ada pada guru BK dan wali kelas yang berupa rekap absen setiap hari.

2. Metode wawancara

Wawancara yang digunakan adalah wawancara terpimpin, langsung dan berencana. Peneliti akan mewawancarai siswa untuk memperoleh data mengenai kendala bagi siswa dalam pelaksanaan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning), terutama mengenai perasaan menggunakan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning), alokasi waktu, petunjuk kegiatan yang diberikan, kelancaran pelaksanaan teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning) dan efektifitas pemberian teknik Pengondisian Operan (Operant Conditioning).

  1. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah metode statistik karena data yang dikumpulkan merupakan data kuantitatif atau data yang dikuantitatifkan yaitu dalam bentuk angka-angka atau bilangan. Untuk menganalisis data maka digunakan statistik non parametrik yaitu Uji Tanda (Sign-Test), dan dilakukan berdasarkan tanda positif (+) dan tanda negatif (-) yang diperoleh dari selisih nilai pengamatan.

Siegel (1997:84), menyatakan Uji Tanda (Sign-Test) dapat diterapkan jika pembuat eksperimen ingin menetapkan 2 kondisi yang berlainan. Kondisi yang berlainan yang dimaksud adalah kebiasaan membolos siswa sebelum dan sesudah diberikan perlakuan Pengondisian Operan (Operant Conditioning).

Dalam hal ini Siegel (1998:83-87), memberikan petunjuk tentang langkah-langkah dalam menganalisis data dengan menggunakan Uji Tanda, antara lain:

1. Membuat tabel yang terdiri dari kolom subjek, hasil pre-test (X), hasil post-test (Y), arah perbedaan (X) dan (Y), dan tanda arah perbedaan X dan Y,

2. Mencari X yaitu banyak tanda yang lebih sedikit,

3. Mencari harga P, yaitu kemungkinan munculnya harga dibawah H0 yang diketahui dari mencari angka titik temu X dan N pada tabel,

4. mengkonsultasikan harga P dengan harga daerah penolakan α = 0,05 dengan ketentuan jika P yang dihasilkan dari tes tanda < α maka H0 ditolak.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Corey, Gerald. 2005. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.

Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Gramedia.

Hurlock, Elizabeth. 1999. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Kartono, Kartini. 1991. Bimbingan bagi Anak dan Remaja yang bermasalah. Jakarta: Rajawali Press.

McLeod, John. 2008. Pengantar Konseling Teori dan Kasus. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Nursalim, Mochammad, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press.

Pearce, John. 1990. Perilaku yang Buruk. Penerjemah Purnama Sidhi. Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Poduska, Bernard dan Drs. R. Turman S. 2008. 4 Teori Kepribadian Eksistensialis, Behavioris, Psikoanalitik, Aktualisasi Diri. Jakarta: Restu Agung.

Poerwadarminto. 1984. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ps, Djarwanto.2003. Statistik Nonparametrik. Yogyakarta: BPFE YOGYAKARTA.

Rahmasari, Diana. 2002. Psikologi Konseling. Surabaya: Unesa University Press.

Sari, Wahyu Kartika. 2005. ”Hubungan Antara Perhatian Orang Tua Dengan Kebiasaan Membolos Siswa Kelas II SMA Negeri 1 Baureno Bojonegoro”. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: Program Sarjana Unesa.

Siegel, Sidney. 1997. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Terjemahan oleh Zanzawi Suyuti dan Landung. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2003. Statistik Non Parametris Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sukalna, Reni Praminasari. 2000. “Pengaruh Pemberian Konseling dengan Pendekatan Behavioral terhadap Siswa Yang selalu membuat keributan di kelas II SLTP Negeri 28 Surabaya”. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: Program Sarjana Unesa.

Winkel, W.S. dan MM. Sri Hastuti. 2006. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi.

Wulan, Fatma Retno. 2007. “Pengaruh Strategi Self Management terhadap Siswa Yang Membolos Pada Pelajaran Matematika Kelas VIII.9 SMP Taman Pelajar Surabaya”. Skripsi tidak diterbitkan Surabaya: Program Sarjana Unesa.